Selasa, 01 April 2008

SENIMAN KALIGRAFI

KOMUNITAS MANTAN PETANI HINGGA SENIMAN KALIGRAFI

Tionghoa memiliki stereotip sebagai masyarakat pedagang dan penuh hitungan untung-rugi finansial. Sebaliknya, di sudut-sudut Jakarta tersisa "keaslian" warna-warni kehidupan masyarakat Tionghoa dari komunitas mantan petani-lahan mereka tergusur perumahan-hingga seniman kaligrafi yang tersisa di Pecinan kota tua.
Deretan rumah sederhana di sudut perumahan mewah Bumi Serpong Damai, sebelah barat Jakarta, menjadi tempat tinggal tujuh keluarga sisa komunitas Tionghoa petani. Ratusan tahun silam mereka adalah bagian dari sekitar 40-an keluarga petani Tionghoa di Desa Rawabuntu, Kecamatan Serpong, berjarak 20-an kilometer sebelah barat daya
Jakarta.
Mereka hidup bersama masyarakat Betawi setempat dan tidak jauh dari sana terdapat jiran komunitas Sunda di Desa Rawa Lenggang. Semula kehidupan bertani di dataran sekitar Sungai Cisadane mereka jalani dengan damai hingga modernisasi dan modal para cukong menjamah kehidupan mereka.
Tedy Thio (39), putra Tionghoa asli Rawabuntu, berkisah, sebelum tahun 1980-an dirinya masih sibuk pergi ke sawah setiap hari. "Menanam padi, membajakpakai luku, sampai merawat sawah kita lakukan bersama sekeluarga," kata Tedy yang memiliki sembilan saudara.
Sawah mereka hanya beberapa petak di lahan 2.000 meter persegi tepat di belakang bangunan SD Negeri Rawabuntu yang masih berdiri hingga kini. Panen berlaku dua kali dalam setahun. Puluhan karung beras disimpan untuk dimakan Thio Nyan Soe, almarhum ayah Tedy, sekeluarga selama setahun.
Untuk memperoleh sayur-mayur, mereka menanam sendiri. Demikian pula ikan, didapat dari kali dekat sawah mereka. "Cari ikan lele atau ikan gabus gampang sekali," lanjut Tedy seraya mengenang masa silam.
Hidup adalah perjuangan bagi keluarga petani Tionghoa layaknya kehidupan petani Indonesia pada umumnya. Thio Nyan Soe, sang ayah, kata Tedy, mendapatkan uang tambahan sebagai pembersih got di Kota Tangerang.
Setiap hari dia berjalan kaki pergi-pulang 20 kilometer dari Rawa Buntu ke Kota Tangerang. Pekerjaan yang diwariskan dari Thio Un Jan, kakek Tedy, merupakan sarana mendapatkan uang tunai bagi keluarga petani marjinal.
"Papa tiap hari kerja membawa sekop dan beliung. Dia berhenti kerja awal tahun 1980-an lantas ikut tauke pedagang kain di Pasar Tanah Abang. Di rumah masih ada warung kecil untuk nambah penghasilan keluarga," kata Tedy.
Tedy dan saudara-saudaranya pun harus menjalani ritual kehidupan keras untuk menempuh pendidikan. Setiap hari mereka berjalan ke sekolah di sekitar pasar Serpong, 6 kilometer dari rumah mereka. Itu pun sekolah hanya ditempuh hingga SMP karena keterbatasan biaya.
Kala itu kehidupan mereka sama dengan jiran Betawi. Rumah pun serupa, bangunan kayu nangka berlantai tanah. Yang membedakan hanyalah meja abu dan tempat memasang hio menjadi penanda rumah petani Tionghoa.
Korban gusuran
Ketika pembangunan perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) berlangsung, Tedy Thio dan para jiran petani Tionghoa menjadi korban gusuran pada tahun 1995. Untunglah kehidupan keras mengajarkan mereka bijaksana mengelola keuangan. Ganti rugi gusuran segera dibelikan tanah untuk membangun rumah baru di sudut BSD.
Yang jelas, kehidupan bertanipun terhenti menjadi masyarakat urban. Terbiasa menyiasati hidup, Tedy pun melanjutkan membuka warung yang kini berkembang menjadi toko kecil-kecilan dan agen minuman ringan.
Menurut Tedy, hanya tujuh keluarga mantan petani yang tersisa tinggal di lingkungan tersebut. Salah satu yang tertua adalah Lim Ek Ceng (65) yang tinggal sepelempar batu dari rumah Tedy.
Encek Ek Ceng, demikian akrab dipanggil, masih menjalankan kebiasaan sebagai petani pekebun. Setiap hari, jika kondisi kesehatan memungkinkan, diamembersihkan tanaman di sekitar rumahnya.
Pemandangan di sekitar rumah Encek Ek Ceng memang khas sebuah kebun. Tanaman pisang, tumbuhan menjalar, ubi, singkong, dan pelbagai tanaman khas desa terlihat kontras dengan taman di rumah warga menengah ke atas di sekitarnya.
"Kalau sehat saya hari-hari masih bersih-bersih kebun atau diminta tetangga bersihkan rumput," kata Encek Ek Ceng. Suasana di rumah Ek Ceng sangat tradisional, kandang ayam, anak ayam berkeliaran, kompor batu bata dengan kayu bakar, dan terlihat Encim-sang istri-hilir mudik sambil mengenakan busana khas: kebaya encim dan bersarung batik.
Pagi itu, kala ditemui, Encek Ek Ceng yang berkulit gelap dan bertangan kapalan khas petani sedang menikmati makan pagi. Menunya sederhana, nasi di atas piring kaleng dengan sejumput mi goreng dan kerupuk.
Yudha, seorang aktivis lingkungan setempat, menjelaskan, warga Tionghoa pendatang yang berasal dari Medan, Jakarta, Pontianak, dan pelbagai kota besar kerap merasa tidak cocok dengan Tionghoa pribumi. "Mereka dianggap sebagai Bumiputera dan sering dianggap lebih rendah status sosialnya oleh sesama Tionghoa, terutama yang dari kota besar seperti Medan dan Jakarta. Tionghoa Pontianak atau Bangka umumnya lebih bisa menerima keberadaan mereka," kata Yudha.
Seniman kaligrafi terakhir
Pusat kota Jakarta di Pecinan sekitar Glodok dan Pancoran juga masih menyisakan Tionghoa yang melawan arus menjalankan tradisi. Liu Ren Chen (59) mungkin adalah satu-satunya yang tersisa dari generasi seniman Shu Fa (kaligrafi Cina) yang di kota.
Liu yang tinggal di Gang Kemenangan VII atau lebih dikenal sebagai Gang He Xi atau Hosi dalam dialek Hokkian menekuni seni kaligrafi selama puluhan tahun sebagai pilihan hidupnya. Sebagai dasar, dia mempelajari Shufa selama 20 tahun lebih berguru di kawasan Petojo Enclek.
Kaligrafi yang ditekuni Liu adalah salah satu elemen dasar budaya Tionghoa yang kini semakin hilang. Masyarakat Tionghoa mengenal ungkapan Qin Qi Shu Hua sebagai penanda tingginya adab budaya seseorang. Qin Qi Shu Hua secara harfiah berarti seseorang menguasai alat musik (Qin), permainan catur (Xiang Qi), kaligrafi (Shu Fa), dan melukis (Hua-hua'r). Tak ubahnyamasyarakat Jawa mengenal syarat menjadi ksatria terpandang yakni Wisma, Turangga, Garwa, dan Kukila atau memiliki rumah, tunggangan, istri dan hobi bergengsi untuk mengisi waktu.
Hari-hari Liu dipenuhi kesibukan membuat kaligrafi untuk penghias Wihara (Miao), kartu undangan, hingga etiket merek dan obat yang menggunakan aksara China. Pelbagai wihara di sekitar Jabotabek memasang hasil kaligrafi Liu.
"Orang muda jarang yang mau kerja begini. Ini memang sudah panggilan dan kepuasan," kata Liu yang sempat menempuh pendidikan sekolah Tionghoa yang kemudian ditutup oleh rezim Orde Baru.
Kehidupan Liu tidaklah mewah. Dia tinggal di sebuah gang kecil bekas istal kuda hartawan Tionghoa di masa lalu. Liu, seperti Tedy Thio, adalah bagian dari sebuah kebudayaan besar yang tersisih oleh stereotip dan pemahaman pemujaan terhadap uang di masyarakat yang terkooptasi oleh ide kapitalis. Mereka adalah orang-orang yang
memilih jalan lama sebagai penghayatan terhadap identitas budaya Tionghoa yang tidak melulu menjadi pencitraan pelipatgandaan modal.

KALIGRAFI CHINA

Yang Ming Yen, Maestro Mao Bi, Kaligrafi China
Ming Yen tengah menuliskan kaligrafi Cina di selembar kertas berwarna merah

Namanya Yang Ming Yen. Wajahnya masih terlihat segar di usianya yang sudah menginjak kepala 7. Tangannya masih lihai menggerakkan kuas bertinta China. Matanya pun masih awas mengikuti gerak tangannya membentuk rangkaian tulisan kaligrafi China. Dalam bahasa China, seni kaligrafi yang ditekuni Ming Yen biasa dikenal dengan Mao Bi (baca : Mao Pi).

Pria kelahiran 1938 ini pun berbagi cerita. Sejak duduk di bangku SD tahun 1950-an, Ming Yen sudah belajar menulis huruf China. "Sekitar 5 tahun saya dapat pelajaran menulis Mao Bi di SD Pei Hua, dulu di Jalan Semar, Bandung. Setelah itu belajar sendiri," cerita Ming Yen, Jumat (25/1).

Ayahnya Ming Yen juga ternyata seorang seniman Mao Bi yang handal. Hanya, kata dia, dari 4 anaknya tidak ada yang mewarisi keahliannya. "Soalnya anak saya nggak ada yang di sekolah Chinese," lanjutnya.

Menulis Mao Bi, tak segampang yang dilihat. Menurut Ming Yen, seni ini tergolong seni yang sulit dipelajari. Ia sendiri benar-benar teruji kesabarannya untuk bisa menguasai seluruh huruf-huruf yang cukup 'njlimet'.

"Lama-lama bisa juga kok, asal tekun saja. Tidak seperti huruf latin yang berdiri sendiri, huruf Mao Bi ini bisa dirangkai. Kita harus pinter merangkainya supaya membentuk kata yang benar. Mao Bi ini seni yang cantik sekali. Tapi setiap orang punya gaya sendiri. Saya sendiri termasuk aliran Xing Shu," ujarnya.

Menurut Ming Yen, aliran Xing Shu merupakan aliran tersulit kedua setelah Chao Shu. Aliran lainnya, Kai Shu, Li Shu, dan Zhuan Shu. Apa beda aliran-aliran itu? "Wah, saya sulit menjelaskannya. Yang jelas terletak di lekuk-lekuk dan tarikan hurufnya."

Dari keahliannya ini, Ming Yen pernah diundang ke Ghuang Zhou, China bersama beberapa seniman Mao Bi lainnya. Sayangnya, semakin lama teman-teman Ming Yen tak semakin bertambah. Di Bandung, tempatnya bermukim, tak lebih dari 10 orang seniman yang ada.

"Profesi ini sudah panggilan hati. Dari profesi ini saya dipanggil kemana-mana untuk mengisi acara terutama saat menjelang Imlek seperti saat ini dan saat acara Chung Sui (acara bulan purnama) setiap tanggal 15 bulan 8. Biasanya, orang-orang minta dituliskan doa," kata dia lagi.

Rangkaian huruf China karya Ming Yen dituliskan di kertas khusus berwarna merah yang diimport dari China. Kalau di atas kertas putih, ia akan membubuhkan stempel bertuliskan namanya, yang juga khusus dipesan dari China.

PAPAN GORES

Papan gores

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Contoh karya scratcboard

Contoh karya scratcboard

.

Papan gores atau lebih dikenal di dalam Bahasa Inggris sebagai scratchboard atau scraperboard adalah media yang memungkinkan suatu karya dibuat dengan cara menggoreskan benda-benda tajam menjadi karya dalam bentuk negatif.


Daftar isi

Karakteristik

Hasil karya scrapboard bisa menjadi sangat tajam dan detail, sesuai penggunaan media penggoresnya. Gambar yang dihasilkan terbalik, dalam bentuk negatif. Tetapi sangat sulit untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi saat pemakaian media ini.

Teknik penggunaan

Semakin tajam dan tipis media penggores, semakin detail pula gambar yang bisa dihasilkan.

Terkadang hasil goresan di atas scratchboard dilapisi lagi dengan cat air atau akrilik untuk mendapatkan warna dan visualisasi menarik.

Bayangan dibuat dengan merapatkan dan merenggangkan jarak antar goresan yang paralel. Teknik hatching dan strippling juga bisa digunakan untuk menghasilkan gambar berkualitas dari media ini.

Sejarah

Scratchboard ditemukan pada abad 19. Awalnya cardboard dilapisi kapur. Tetapi hal ini selanjutnya digantikan peran tinta India

Bahkan hingga tahun 1950an scratchboard tetap menjadi media yang cukup populer.

Selanjutnya, ditemukanlah Claybord, media lain yang lebih halus dan menghasilkan gambar lebih tajam.

Contoh seniman

  1. John Schoenherr
  2. Carol Biberstein,

Media serupa

Claybord, ditemukan oleh Charles Ewing

BENTUK KALIGRAFI

Kaligrafi

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Kaligrafi tulisan latin
Kaligrafi tulisan latin

Kaligrafi, dari bahasa Yunani; καλλι "keindahan" + γραφος "menulis" adalah seni menulis dengan indah dengan penasebagai hiasan. Tulisan dalam bentuk kaligrafi biasanya tidak untuk dibaca dengan konsentrasi tinggi dalam waktu lama, karena sifatnya yang membuat mata cepat lelah. Karena itulah sangat sulit menemukan contoh kaligrafi sebagai tipografi buku-buku masa kini.

Meskipun kaligrafi dalam tulisan arab lebih dikenal, tetapi banyak pula penerapan aplikasi ke dalam tulisan latin.

[sunting] Kaligrafi Islam

Contoh kaligrafi Islam dari abad 11 dari Persia
Contoh kaligrafi Islam dari abad 11 dari Persia

Di dalam seni rupa Islam, tulisan arab seringkali dibuat kaligrafi. Biasanya isinya disadur ayat-ayat suci dari Al-Quran. Bentuknya bermacam-macam, tidak selalu pena diatas kertas, tetapi seringkali juga ditatahkan di atas logam atau kulit.

Salah satu bentuk penerapan kaligrafi Islam sebagai seni hias adalah di Istana Al Hamra, Spanyol.



UKIRAN KALIGRAFI

, , , , , pada Februari 14, 2008 oleh kaligrafiislam

kursiayat kursiihkas

Kaligrafi Islam

Kata kaligrafi berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah “tulisan indah”. Dalam sejarah peradaban Islam, seni tulis huruf Arab yang isinya berupa potongan ayat Alqur’an atau Hadits Nabi SAW ini mempunyai tempat yang sangat istimewa. Setiap muslim percaya bahwa Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan oleh Tuhan ketika menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW. Bahasa ini juga digunakan dalam seluruh tata peribadatan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Karena di dalam ajaran Islam lukisan berupa mahluk hidup adalah termasuk sesuatu yang dilarang, maka kaum muslimin mengeskpresikan gairah seninya antara lain lewat seni kaligrafi ini. Karya-karya kaligrafi ini banyak menjadi hiasan di banyak bidang, mulai dari bangunan, koin, seni dekoratif, permata, tekstil, senjata sampai manuskrip.

Meskipun sebenarnya Bahasa Arab telah berkembang jauh sebelum Islam lahir, tetapi bahasa ini menyebar dengan cepat sejalan dengan perkembangan agama Islam. Khalifah Abdul Malik (685-705 M) dari Bani Umayyah membuat sebuah keputusan politik yang sangat penting dalam bidang ini yaitu dengan menetapkan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi seluruh wilayah Islam, meskipun pada awalnya Bahasa Arab bukan bahasa yang dipakai di wilayah-wilayah tersebut.

Pada awalnya, kaligrafi Islam banyak ditulis di atas kulit atau daun lontar. Penemuan kertas di Cina pada pertengahan abad 9 M berperan cukup besar dalam perkembangan seni ini, kertas harganya relatif lebih murah, cukup melimpah, mudah dipotong dan dari sisi teknik pewarnaan lebih mudah daripada bahan-bahan yang dipakai sebelumnya.

Ibnu Muqla (886-940 M) adalah salah seorang kaligrafer terbaik pada masa awal perkembangan seni kaligrafi Islam. Dia mengembangkan prinsip-prinsip geometris dalam kaligrafi Islam yang kemudian banyak digunakan oleh para kaligrafer yang datang sesudahnya, dia juga berperan mengembangkan tulisan kursif yang di kemudian hari dikenal sebagai gaya Naskh yang banyak dipakia untuk menulis mushaf Alqur’an.

Hingga saat ini terdapat beberapa aliran utama dalam seni Kaligrafi Islam , antara lain ; Kufi, Ta’liq, Diwani, Thuluth, Naskh dan Riq’a.

Seni kaligrafi Islam insya allah akan terus berkembang sampai akhir jaman nanti sebagaimana pemeluk Islam yang terus berkembang dan bergerak di seluruh permukaan bumi ini.